Home > Mancanegara

Drone Penjajah Israel Tembak Tim Penyelamat Usai Serangan Mematikan

Saksi mata mengatakan pesawat tak berawak Israel menargetkan orang-orang yang menggali reruntuhan untuk menjangkau para korban yang terjebak.
Zionis Israel terus menggempur Gaza. (Days of Palestine)
Zionis Israel terus menggempur Gaza. (Days of Palestine)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Meski sejumlah negara Eropa, termasuk Inggris telah mengakui kemerdekaan Palestina, tapi penjajah zionis Israel tetap melakukan genosida yang beringas.

Warga di lingkungan Sabra, Kota Gaza, mengatakan pesawat tanpa awak Israel telah menembaki tim penyelamat. Padahal mereka tengah berupaya mengeluarkan korban dari reruntuhan usai serangan udara yang menghancurkan pada malam hari.

Menurut laporan lokal, setidaknya 25 anggota keluarga Doghmush tewas dalam pemboman Israel di sebuah blok perumahan.

Sekitar 17 orang lainnya telah dievakuasi dari reruntuhan, tetapi kerabat meyakini sebanyak 50 orang lainnya masih terjebak.

"Saya memohon kepada seluruh dunia: Tolong bantu kami," kata salah satu anggota keluarga, kepada Days of Palestine, Ahad. "Keluarga dan kerabat kami terkubur hidup-hidup. Kami terus mendengar jeritan mereka dari bawah reruntuhan, tetapi kami tidak dapat menjangkau mereka."

Saksi mata mengatakan pesawat tak berawak Israel telah menargetkan orang-orang yang menggali reruntuhan untuk menjangkau para korban yang terjebak.

"Setiap kali kami mencoba menjangkau mereka, pesawat tanpa awak Israel menembaki kami," kata kerabat tersebut.

"Setiap lima orang yang mencoba, empat orang tewas, dan hanya satu yang selamat."

Klaim tersebut menambah bukti yang semakin kuat bahwa petugas tanggap darurat dan warga sipil di Gaza menghadapi risiko serius.

Tak hanya dari serangan awal tetapi juga dari serangan-serangan berikutnya, saat berupaya membantu para penyintas.

Kru pertahanan sipil mengatakan mereka kewalahan dan kekurangan alat berat yang diperlukan untuk membersihkan bangunan yang runtuh.

Daerah Sabra, seperti sebagian besar Kota Gaza, telah dibombardir secara besar-besaran sejak Israel melancarkan serangan besar-besaran pada bulan Agustus.

Akibatnya hampir separuh penduduk kota mengungsi—mereka yang bertahan menghadapi pemboman terus-menerus, kekurangan pasokan medis, dan pengungsian berulang kali.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan bahwa penargetan Israel terhadap tim penyelamat dapat dianggap sebagai kejahatan perang menurut hukum internasional.

Para penyintas dan keluarga terus mendesak komunitas internasional untuk turun tangan, dengan mengatakan bahwa waktu hampir habis bagi mereka yang masih terjebak.

Analisis Militer: Hamas Tetap Tangguh

Militer Israel mengatakan pada Sabtu bahwa dua proyektil diluncurkan dari Gaza utara, memicu sirene di wilayah selatan Israel, Lakhish dan Ashdod.

Menurut pernyataan yang dipublikasikan di kanal Telegram militer, satu proyektil berhasil dicegat oleh pertahanan udara, sementara proyektil kedua mendarat di area terbuka.

Tidak ada laporan cedera atau kerusakan.

Insiden ini terjadi setelah genosida Israel yang menghancurkan di Gaza, menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kampanye Israel untuk membubarkan Hamas.

Meski berbulan-bulan melakukan pemboman dan operasi darat yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina, para analis mengatakan Hamas tetap mampu melancarkan serangan.

Profesor di Institut Studi Pascasarjana Doha, Mohamad Elmasry, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tembakan roket baru-baru ini menggarisbawahi ketahanan kelompok tersebut.

"Saya pikir Hamas mencoba mengirim pesan mereka masih tetap kuat," kata Elmasry. "Saya tidak akan terkejut jika dalam hal kekuatan tempur, basis keanggotaan, mereka hampir sama kuatnya dengan saat awal perang."

Ia menambahkan bahwa beban terberat dari kampanye militer Israel telah menimpa warga sipil Gaza, dengan sebagian besar korban adalah wanita, anak-anak, dan pria non-kombatan.

Peluncuran roket tersebut merupakan insiden terbaru dari serangkaian insiden yang menggarisbawahi perjuangan Israel untuk mencapai tujuan yang dinyatakannya, yaitu melenyapkan Hamas.

Meski para pejabat Israel bersikeras infrastruktur kelompok tersebut telah rusak parah, tembakan roket berkala menunjukkan bahwa Hamas masih memiliki kemampuan dan tekad untuk melawan.

Genosida telah menghancurkan Gaza, dengan sistem kesehatan yang kolaps, kelaparan yang meluas, dan pengungsian massal.

Namun, sebagaimana dicatat para analis, tekanan militer Israel tampaknya tidak banyak melemahkan posisi politik Hamas di mata rakyat Palestina maupun kapasitas operasionalnya di medan perang.

Ratusan Negara Akui Kemerdekaan Palestina

Sebelumnya, Inggris menepati janjinya mengakui keberadaan negara Palestina. Perdana Menteri Keir Starmer, Ahad (21/9/2025) mengumumkan Inggris secara resmi mengakui negara Palestina.

"Hari ini, untuk menghidupkan kembali harapan perdamaian dan solusi dua negara, saya menyatakan dengan jelas - sebagai perdana menteri negara besar ini - bahwa Inggris secara resmi mengakui negara Palestina," ujarnya dalam sebuah pernyataan video.

Starmer menekankan, hari ini Inggris bergabung dengan lebih dari 150 negara lain yang telah mengakui negara Palestina. Langkah ini, lanjutnya, sebuah janji kepada rakyat Palestina dan Israel bahwa akan ada masa depan yang lebih baik.

"Hari ini kami mengakui Negara Palestina untuk menghidupkan kembali harapan perdamaian antara Palestina dan Israel. Hari ini kita bergabung dengan lebih dari 150 negara yang telah mengakui negara Palestina."

"Kami bekerja menjaga kemungkinan perdamaian dan solusi dua negara tetap hidup," imbuhnya, seraya menegaskan ia telah mengarahkan penjatuhan sanksi terhadap tokoh-tokoh Hamas lainnya dalam beberapa minggu mendatang.

Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina menyambut baik keputusan sejumlah negara di antaranya Inggris, Kanada, dan Australia yang mengakui Negara Palestina dan menyebutnya sebagai keputusan berani yang konsisten dengan hukum internasional dan resolusi legitimasi internasional.

Menurut mereka, keputusan ini berakar dari komitmen negara-negara tersebut untuk mengakhiri pendudukan dan mencapai perdamaian.

Sekaligus menjamin keamanan, stabilitas, dan kemakmuran bagi kawasan dan dunia.

Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Ahad (21/9/2025) malam, Kementerian menyampaikan rasa terima kasihnya kepada negara-negara tersebut.

Mereka menegaskan kesiapan Negara Palestina dan pemerintahannya yang sah untuk mulai membangun hubungan yang paling kuat dan paling tulus dengan mereka di semua tingkatan.

Kementerian menganggap pengakuan tersebut sebagai pengakuan atas hak-hak rakyat Palestina yang adil dan sah.

Serta berkontribusi dalam melindungi solusi dua negara dari bahaya yang diakibatkan kejahatan pendudukan yang berkelanjutan, termasuk genosida, kelaparan, pengungsian, dan aneksasi.

Hal itu juga memberikan momentum tambahan bagi upaya regional dan internasional yang dipimpin Arab Saudi dan Prancis, untuk mengimplementasikan “Deklarasi New York”, dalam menyelesaikan konflik melalui cara-cara politik dan negosiasi.

Kemlu Palestina mendesak negara-negara yang belum mengakui Negara Palestina, khususnya AS, untuk mengambil inisiatif dalam mengakui dan mematuhi hukum internasional dan Pendapat Penasihat yang dikeluarkan Mahkamah Internasional (ICJ).

Mereka juga meminta negara-negara itu untuk berdiri di sisi sejarah yang benar guna memastikan ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dihapuskan.

Serta mereka diberdayakan menjalankan hak mereka atas penentuan nasib sendiri, sebagaimana halnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kemlu Palestina menekankan bahwa penghentian segera perang Israel terhadap rakyat Palestina dalam segala bentuk dan manifestasiinya merupakan pendekatan yang tepat untuk mencapai ketenangan, membangun kepercayaan, dan memulihkan cakrawala politik untuk menyelesaikan konflik.

Inggris, Australia dan Kanada secara resmi mengakui Negara Palestina pada Ahad (21/9/2025) dan Portugal akan melakukan hal yang sama hari ini, Kementerian Luar Negeri mengatakan pada Ahad.

Mila

× Image