Amnesty: Pengakuan Negara Palestina Tanpa Akhiri Genosida, Hanya Isyarat Hampa

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Amnesty International memperingatkan bahwa pengakuan terhadap Negara Palestina hanya akan menjadi gerakan simbolis.
Kecuali disertai langkah tegas mengakhiri genosida, pendudukan, dan apartheid Israel terhadap Palestina.
Menanggapi pengumuman pemerintah Inggris yang akan mengakui negara Palestina, Manajer Tanggap Krisis Amnesty, Kristyan Benedict, mengatakan pengakuan ini tentu saja penting.
“Tetapi akan menjadi tindakan sia-sia jika Inggris tidak berupaya mengakhiri genosida, pendudukan ilegal, dan sistem apartheid Israel terhadap rakyat Palestina,” tegasnya, pad dilansir Days of Palestine.
“Agar pengakuan atau 'solusi politik' apa pun efektif, hal tersebut harus berakar kuat pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan internasional,” imbuhnya, Senin.
Inggris perlu mengambil tindakan sekarang untuk memastikan penjajah Israel mencabut blokade Gaza, membongkar permukiman ilegal, mengakhiri apartheid.
Sekaligus menghormati hak warga Palestina untuk kembali, dan menegakkan hak-hak korban di semua pihak atas keadilan dan reparasi penuh.
“Kata-kata saja tidak akan menghentikan kekejaman,” imbuhnya.
Pengakuan harus disertai akuntabilitas nyata: Inggris harus menghentikan ekspor senjata, menarik investasi dari perusahaan senjata yang terus menjual senjata ke Israel.
Serta memberi sanksi pada pejabat penjajah Israel yang terlibat dalam kejahatan berdasarkan hukum internasional, dan menghentikan perdagangan dengan permukiman.
“Sistem pendudukan dan apartheid harus diakhiri, keadilan harus ditegakkan – apa pun yang kurang dari itu sedangkan warga Palestina terus dibantai Israel dalam genosida yang sedang berlangsung hanyalah kata-kata kosong.”
Drone Terbang di Atas Armada yang Menuju Gaza
Di sisi lain, armada Kebebasan Maghreb yang akan menerobos blokade Israel di Gaza mengumumkan telah meningkatkan tingkat kewaspadaan keamanannya.
Hal itu menyusul setelah tiga pesawat tanpa awak (drone) tak dikenal terlihat terbang di atas salah satu kapalnya pada Ahad malam.
Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Facebook, armada tersebut melaporkan bahwa awak kapal Mali/Deir Yassin mendeteksi tiga drone yang melayang di atas kepala, salah satunya mendekati kapal pada jarak yang digambarkan sebagai "dekat dan berbahaya".
Insiden ini disebut sebagai “perkembangan yang mengkhawatirkan” dan berpotensi mengancam keselamatan awak kapal dan peserta di dalamnya.
Menurut pernyataan tersebut, kru segera menerapkan tindakan pengawasan dan respon berdasarkan protokol keamanan standar.
Setelah itu drone akhirnya mundur tanpa konfrontasi atau pertempuran langsung.
Berbicara dari atas kapal Deir Yassin, juru bicara panitia pengarah armada Wael Nawar mengatakan armada telah berlayar selama hampir enam hari sejak meninggalkan Tunisia.
"Kami meninggalkan perairan Italia di dekat Sisilia hari ini dan menuju perairan internasional dekat Yunani. Kami dalam kondisi sehat, dengan tekad yang kuat, dan kami sedang bergerak menuju pemutusan blokade di Gaza," ujarnya.
Nawar menambahkan Deir Yassin memimpin konvoi tetapi akan mengurangi kecepatannya agar tetap sejajar dengan armada lainnya. Ia menegaskan hanya tinggal beberapa hari lagi sebelum kedatangan mereka yang direncanakan di pantai Gaza.
Armada Maghreb bagian dari “Armada Kebebasan Global” yang lebih besar, yang mencakup sekitar 50 kapal yang membawa bantuan kemanusiaan dan pasokan medis.
Di dalamnya terdapat aktivis dari Eropa, Amerika Latin, negara-negara Arab, Amerika Serikat, Pakistan, India, dan Malaysia.
Misi ini menindaklanjuti laporan sebelumnya bahwa dua pesawat tak berawak Israel menargetkan kapal-kapal armada yang berlabuh di pelabuhan Sidi Bou Said, Tunisia dalam insiden terpisah.
Meskipun pendudukan Israel tidak mengonfirmasi maupun membantah keterlibatannya.
Ini pertama kalinya sejumlah besar kapal berlayar bersama menuju Gaza, rumah bagi 2,4 juta warga Palestina yang telah hidup di bawah blokade ketat Israel selama 18 tahun.
Pendudukan Israel sebelumnya telah mencegat dan menyita kapal-kapal bantuan yang menuju Gaza, menahan dan mendeportasi para aktivis.
Sejak 2 Maret, pendudukan Israel telah menutup semua penyeberangan ke Gaza, mencegah masuknya makanan dan bantuan kemanusiaan.
Meskipun konvoi truk bantuan menumpuk di perbatasan, hanya pengiriman terbatas yang sesekali diizinkan masuk, jauh di bawah kebutuhan mendesak daerah kantong itu.
Pihak berwenang setempat menyatakan pendudukan Israel memungkinkan penjarahan truk bantuan oleh geng-geng bersenjata, sehingga memperdalam krisis kemanusiaan.
Didukung AS, kampanye militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan setidaknya 65.283 warga Palestina dan melukai 166.575 lainnya, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Kelaparan telah merenggut nyawa setidaknya 442 orang, termasuk 147 anak-anak, di tengah apa yang digambarkan kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai genosida yang sedang berlangsung.
Mila