Home > Regional

Syarifudin, Perajin Gambus Kutai Penjaga Tradisi Lewat Nada

Gambus telah berkembang di Nusantara sejak abad ke-19.
Siswa di Kaltim antusias menyimak materi dari Syarifudin soal gambus. (Adpimprov)
Siswa di Kaltim antusias menyimak materi dari Syarifudin soal gambus. (Adpimprov)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sejak kecil, Syarifudin yang karib disapa Katal, telah bersahabat dengan kayu, alat pahat, dan suara khas petikan gambus.

Ia mewarisi keahlian dari orangtuanya. Dari warisan itulah Katal merasa terpanggil menjaga tradisi agar tidak hilang. Saat ditanya apakah sulit mempelajari keterampilan ini, Katal hanya tersenyum.

“Mun main gambus, banyak dah yang kawa. Tapi mun molah, nah itu yang mulai langka,” ujar Katal, dengan bahasa Kutai.

Perajin gambus asal Kutai Kartanegara itu menyampaikan, kalau orang yang bisa bermain gambus sudah banyak. Tapi orang yang bisa membuat gambus, sudah mulai langka.

Ia menyampaikan itu saat menjadi narasumber kegiatan Belajar Bersama Maestro Musik Gambus, Selasa (23/09/2025) di Gedung Rinjani Taman Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim.

Kala memberi pemaparan di hadapan puluhan pelajar SMA dan Sanggar Seni Budaya Kaltim, Katal membuka kisah perjalanan hidupnya.

Keahliannya membuat gambus diwarisi dari sang ayah, yang juga dikenal sebagai perajin gambus dengan sapaan: Om Bom.

Tak heran bagi Katal, mempelajari dan membuat alat musik tradisional ini tidak sulit, asal mau belajar dan menekuninya dengan giat.

“Kalau bagi saya tak sulit, tapi mungkin bagi sebagian orang agak susah. Terutama membuatnya, harus tahu dulu bagaimana menentukan mal,” jelasnya, lewat laman Pemprov, Selasa.

Ia menuturkan, mal menjadi bagian penting dalam proses pembuatan gambus. Kayu nangka biasanya butuh sekitar satu minggu untuk dibentuk, sementara kayu plai hanya lima hari.

Proses inilah yang menentukan kualitas suara dan daya tahan alat musik.

Pada sesi praktik, Katal mengajak peserta melihat lebih dekat proses pembuatan, menyentuh kayu yang sedang dibentuk, hingga mencoba memetik senar gambus.

Antusiasme pelajar terlihat ketika mereka menyimak setiap detail yang dijelaskan.

Bagi Katal, regenerasi itu kunci. Jika tidak ada anak muda yang mau belajar membuat gambus, lama-lama akan punah. Katal membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar darinya.

“Kalau ada anak muda yang mau belajar ke rumah saya, silakan saja. Saya senang hati mengajar, tidak ada biaya. Banyak anak PKL atau magang yang sudah belajar ke saya. Insya Allah saya ajari sampai bisa,” ujarnya.

Gambus Kutai telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda- WBTB, dari Kemendikbudristek pada 19 Agustus 2024. Instrumen ini erat kaitannya dengan musik tingkilan: perpaduan pantun dan petikan bernuansa Melayu yang identik dengan tari jepen.

Alat musik Gambus Kutai biasanya menggunakan tujuh senar nilon, tiga di antaranya berpasangan ganda dengan satu senar tebal sebagai penguat nada.

Meski tantangan modernisasi kian besar, upaya pelestarian terus digalakkan.

Salah satunya lewat pelatihan, pengaransemen lagu tradisi, hingga ruang pembelajaran seperti program Belajar Bersama Maestro ini.

Gambus bukan hanya alat musik, melainkan warisan hidup yang terus dirajut. Lewat nada dan kayu yang dibentuk, tradisi hanya akan bertahan jika ada yang mau belajar dan meneruskan.

Tiga Alat Musik Tradisional Kukar Jadi Warisan Budaya

Sebelumnya, pada Senin (19/8/2024), Kabupaten Kutai Kartanegara kembali mencatat prestasi yang membanggakan di kancah nasional.

Tiga alat musik tradisional asal Kukar, yaitu Gambus, Tingkilan, dan Sangkoh, telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemendikbudristek.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar, Puji Utomo, menyampaikan penetapan ini bertujuan melestarikan karya-karya budaya yang ada di daerah, sehingga dapat dicatat dan diakui secara nasional sebagai warisan budaya setempat.

Penetapan ini juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap klaim dari pihak lain. “Terutama jika ada spesifikasi unik yang membedakan budaya tersebut dari daerah lain,” ujar Puji.

Penetapan sebagai WBTB juga membawa tanggung jawab besar bagi pemerintah daerah untuk melestarikan budaya tersebut. Ia berujar pemerintah berencana menggelar berbagai event budaya yang bisa memicu minat dan daya tarik para pelaku seni.

Ia menjelaskan untuk menjadi WBTB, suatu karya budaya harus memiliki spesifikasi yang berbeda dari daerah lain. Misalnya, meski pembuatan alat musik gambus bisa mirip daerah lain, ada spesifikasi unik yang membedakannya sehingga bisa ditetapkan sebagai WBTB.

“Alhamdulillah, ketiga alat musik tradisional asal Kukar yang diajukan ke kementerian berhasil lolos dan ditetapkan sebagai WBTB,” imbuhnya.

Sekadar diketahui, gambus berasal dari Timur Tengah. Orkes gambus dulu dikenal dengan sebutan irama padang pasir. Pada 1940-an, orkes gambus menjadi tontonan yang disenangi.

Namun, jauh sebelumnya gambus telah berkembang sejak abad ke-19 bersama dengan kedatangan para imigran Arab dari Hadramaut Yaman ke Nusantara.

Kalau para Walisongo menggunakan gamelan seba gai sarana dakwah, para imigran Hadra maut yang datang belakangan menjadi kan gambus sebagai sarananya.

Dengan menggunakan syair-syair kasidah, gambus mengajak masyarakat mendekatkan diri pada Allah dan meng ikuti teladan Rasul-Nya.

Mulanya, para imigran Arab membawa sendiri peralatan petik gambus dari negeri asalnya. Tetapi, kini sudah diproduksi sendiri yang tidak kalah mutunya. Musik petik gambus ini di Timur Tengah dinamai oud. Jadi, istilah gambus hanya dikenal di Indonesia. Entah siapa yang memulai menamakannya.

Awalnya, orkes gambus membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Arab, berisi ajakan beriman dan bertakwa kepada Allah dan mengikuti teladan Rasulullah. Lalu gambus berkembang menjadi hiburan.

Selain marawis, jenis musik Islam yang juga begitu dekat dengan masyarakat Indonesia adalah gambus. Gambus menjadi salah satu musik yang telah berusia ratusan tahun, sampai kini masih tetap populer.

Termasuk di Kukar. Yang bahkan kini telah resmi menjadi warisan budaya.

Yan Andri

× Image