Takut Tekanan, Data Terlapor di JPPI soal Keracunan MBG Tembus 6.452 Kasus

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sejak digulirkan Januari silam, program Makan Bergizi Gratis kerap dirundung masalah. Terbanyak soal dugaan keracunan usai menyantap menu MBG.
Sampai kini, sudah ada ribuan siswa yang keracunan dan harus dibawa ke rumah sakit, setelah melahap menu dari makan bergizi gratis.
Menanggapi banyaknya kasus dugaan keracunan MBG, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak Presiden Prabowo dan Badan Gizi Nasional tak menutup mata terhadap tragedi keracunan berulang dalam program Makan Bergizi Gratis.
JPPI memantau korban keracunan setelah menyantap hidangan MBG mengalami peningkatan dari sisi jumlah maupun sebaran.
"Kasus yang terdata di kami ada 6.452 sejak Januari. Itu yang reported ya (dilaporkan), bagaimana dengan yang tidak dilaporkan karena sekolah, siswa, orang tua takut tekanan kalau melapor," ungkap Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam diskusi di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Data 6.542 kasus itu tercatat per 21 September 2025.
Ubaid mengamati ada orang tua yang ingin anaknya jangan mengonsumsi MBG. Tapi mereka bingung bagaimana menolaknya. Mereka khawatir anaknya jadi korban keracunan MBG.
"Mereka trauma kalau disuruh makan (MBG) lagi," ujar Ubaid.
Ubaid menyayangkan ribuan anak menjadi korban keracunan, sedangkan pemerintah tetap memaksakan program ini berjalan tanpa evaluasi menyeluruh dan terkesan sangat tidak serius. Padahal ada ancaman kematian yang nyata.
"Jumlah ini bisa dipastikan lebih besar, sebab banyak sekolah dan pemerintah daerah justru memilih menutupi kasus. Fakta ini menunjukkan program MBG sudah gagal melindungi anak, bahkan berubah menjadi ancaman serius bagi masa depan generasi bangsa," ujar Ubaid.
Ubaid juga memantau sebaran keracunan MBG terjadi di banyak wilayah lintas provinsi.
Ia menduga masalahnya ada pada sistem yang tak maksimal diterapkan Badan Gizi Nasional.
"Kalau kasusnya nyebar di banyak kota dan provinsi pasti masalahnya bukan teknis, bukan kesalahan dapur tapi kesalahan sistem, ketika kesalahan sistem di level BGN, pemantaua nggak jelas, dimanapun dapur dibuka, masalah membludak," ujar Ubaid.
JPPI menegaskan Presiden dan BGN tidak bisa lagi hanya mengandalkan jargon “zero incident”.
Padahal insiden keracunan terjadi di berbagai daerah. Kalau kejadian semacam ini hanya sekali, mungkin bisa disebut kesalahan teknis.
“Kami tidak tega melihat anak-anak yang harus dilarikan ke rumah sakit, berjuang dengan selang infus di tangan mungil mereka, bahkan ada yang nyawanya hampir melayang. Presiden dan BGN jangan sekali-kali bermain-main dengan nyawa anak-anak bangsa. Kalau program ini benar-benar berpihak pada anak, hentikan sekarang juga sebelum lebih banyak korban berjatuhan,” ujar Ubaid.
Data dari JPPI itu berbeda dengan yang disampaikan Badan Gizi Nasional.
Badan itu mencatat terdapat 45 kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan selama program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan hingga 22 September 2025.
Akibatnya, terdapat 4.711 orang yang mengalami gejala keracunan.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, pihaknya menyesalkan adanya kasus keracunan yang menimpa para penerima manfaat MBG. Untuk itu, pihaknya terus memperketat mekanisme yang dilakukan di satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG).
"Jadi kami coba berusaha untuk terus memperketat SOP kita dan untuk SPPG-SPPG yang kemudian pelayanannya menimbulkan gangguan terhadap perencanaan penerima manfaat maka biasanya kami stop dulu sampai semuanya bisa selesai," kata dia saat konferensi pers di Kantor BGN, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).
Wakil Kepala BGN Naniek S Deyang mengatakan, pihaknya akan membentuk tim investigasi untuk mengatasi masalah keracunan yang masih kerap terjadi. Tim investigasi itu akan bertugas mencari sebab pasti gejala keracunan yang dialami penerima manfaat.
"Jadi memang begini, di dalam kasus-kasus yang diduga keracunan ini kita tidak bisa menjustifikasi sebetulnya, oh ini keracunan. Karena kita tetap harus menunggu dari BPOM," kata dia saat konferensi pers di Kantor BGN, Senin (22/9/2025).
Menurutnya, pemeriksaan yang dilakukan BPOM itu tidak bisa langsung keluar.
Mengingat, perlu dilakukan pengujian untuk memastikan gejala keracunan yang dialami para korban adalah karena makanan gratis yang dibagikan.
Menurut Naniek, peran tim investigasi itu adalah untuk memberikan jawaban sementara ketika BPOM masih melakukan pemeriksaan. Hasil dari tim investigasi itu diharapkan bisa memberikan kepastian di tengah informasi yang belum terverifikasi.
"Jadi sebelum BPOM keluar, kami sudah bisa kira-kira apa yang menjadi penyebab anak-anak ini sakit. Apakah betul karena keracunan? atau karena alergi, atau karena lain-lain hal," kata dia.
Ia menjelaskan, tim investigasi itu bakal bekerja mulai dari melihat proses memasak MBG dan memeriksa bahan baku yang digunakan. Tim investigasi itu akan terdiri dari sejumlah ahli, mulai dari ahli ahli kimia, farmasi, dan berbagai bidang kesehatan lainnya.
Menurutnya, tim investigasi BGN ditargetkan dapat mulai turun ke lapangan pada pekan ini. Ia menilai, tim itu tidak hanya akan bekerja ketika ada kasus kejadian luar biasa keracunan. Tim juga akan memastikan pelaksanaan program MBG berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Desakan Hentikan MBG Sementara
Koalisi Kawal MBG mendesak pemerintah menyetop program MBG menyusul banyak kasus keracunan se-Indonesia. Penghentian ini dalam rangka evaluasi total demi mencegah keracunan terjadi lagi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai bagian Koalisi, Eva Nurcahyani menyebut program ini wajib disetop lebih dulu supaya tak menghadirkan kerugian bagi masyarakat.
Eva menegaskan pelaksanaan MBG terbukti sarat masalah.
"MBG tata kelolanya buruk, minim akuntabilitas, dan berulang kali merugikan warga. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus segera menghentikan pelaksanaan MBG agar tidak terus menimbulkan kerugian lebih besar bagi masyarakat," kata Eva dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta pada Selasa (23/9/2025).
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia sebagai anggota Koalisi lainnya mendorong penghentian program MBG. Sebab, masalah MBG bukan kesalahan teknis, tapi kesalahan sistem di BGN karena kejadiannya menyebar di berbagai daerah.
"Lakukan evaluasi total sistem tata kelola MBG yang dikendalikan BGN. Termasuk cabut seluruh surat pernyataan/MoU bermasalah yang membebankan risiko kesehatan pada sekolah atau orang tua," ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji.
Sedangkan Transparency International Indonesia (TII) sebagai anggota Koalisi lainnya juga sepakat mengenai penyetopan sementara BGN.
Peneliti TII Agus Sarwono meyakini moratorium MBG untuk perbaikan total mulai dari asesmen penerima manfaat. Sebab tidak semua anak bisa disamakan gizinya.
"Nggak bisa dipukul rata untuk gizi, misal anak SLB disamakan. Nggak ditanya kalau ada alergi. Ini tanda rendahnya partisipasi publik dalam MBG," ujar Agus.
Agus menyinggung rombongan pemerintah sempat studi banding MBG ke India dan Brazil yang sudah menerapkan lebih dulu.
Tapi kenyataan pelaksanaannya di Indonesia berbeda dari program serupa MBG di India dan Brazil.
"Padahal 2024 sudah ada kunjungan menteri untuk MBG di India dan Brazil, ketika kembali kesini bentuknya kok begini, padahal di India dan Brazil ada komite sekolah dilibatkan pilih menu, pilih anak (yang dapat MBG), pengawasan. Komite sekolah ada disini bisa jadi partner mitra dapur," ucap Agus.
Republika