Home > Kolom

Ubah Skema MBG

Satu anak keracunan saja sudah terlau besar, sudah melenceng jauh dari tujuan awal memberi gizi.
Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail mengecek korban keracunan massal, Selasa. 
Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail mengecek korban keracunan massal, Selasa.

Makan Bergizi Gratis, telah banyak diterapkan di negara maju. Meski disajikan dari dapur sekolah, tapi pengelolaannya profesional, dengan menu yang gizinya terjamin.

Di Yangmyung Girls’ High School, misalnya. Sekolah menengah khusus perempuan di Kota Anyang, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan, makan bergizi gratis telah menjadi standar harian di sana.

Menunya? Bukan hanya bergizi, tapi juga mewah.

Ada kepiting, sup rumput laut, ayam teriyaki, udang, salad segar, buah, bahkan dessert. Prosesnya disajikan profesional, porsinya seimbang, dan tampilannya seperti makanan hotel. Pun di negara lain.

Sejak kampanye, Presiden Prabowo kekeh dengan program andalannya: Makan Bergizi Gratis, MBG. Tapi seiring berjalannya waktu, belum ada setahun, sudah ada ribuan siswa yang keracunan.

Bukan gizi yang para siswa peroleh, tapi justru tangisan hingga dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Mereka keracunan dari sebuah program andalan.

Berdasar catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, korban keracunan usai menyantap hidangan MBG mengalami peningkatan dari sisi jumlah maupun sebaran.

Sampai 21 September 2025, kasus yang mereka data sudah mencapai 6.452, terhitung sejak Januari. Ini data yang dilaporkan, JPPI meyakini ada data lain yang tidak dilaporkan. Sebab sekolah, siswa, orang tua takut tekanan kalau melapor.

Desakan penghentian sementara menggema. Koalisi Kawal MBG mendesak pemerintah menyetop MBG, sebab banyak kasus keracunan terjadi se-Indonesia. Penghentian ini sebagai langkah evaluasi total demi mencegah keracunan terjadi lagi.

Sebaiknya memang untuk sementara waktu pelaksanaan program MBG di stop dulu, sambil melakukan monitoring dan evaluasi menyeluruh mengingat korban siswa keracunan sudah ribuan orang. Apalagi media asing telah menyoroti persoalan ini. Mencegah lebih baik ketimbang mengobati.

Dalam tulisan sebelumnya, saya juga berpandangan perlunya evaluasi total. Apalagi setelah mendengar langsung dari pemilik dapur mitra Badan Gizi Nasional, bagaimana proses pemilihan dan pendirian dapur MBG, atau SPPG. Miris rasanya. Dan benar saja, kasus keracunan demi keracunan terjadi sepanjang hari.

Ada banyak sekali masalah dalam tata laksana dan tata kelola MBG. Tidak mengherankan banyak pihak bersuara untuk menyuarakan penghentian sementara sebelum ada evaluasi total menyeluruh. Bahkan, desakan itu juga datang dari ahli gizi. Begitupun dengan desakan publik.

Janganlah memaksakan program ini terus berjalan tanpa evaluasi total dan perubahan skema, nyawa anak-anak taruhannya. Ribuan siswa yang keracunan bukan sekadar angka. Mereka anak-anak Indonesia, satu siswa saja sudah terlalu banyak.

Harus diakui, kita belum siap melaksanakan program MBG serentak di seluruh Indonesia. MBG baru bisa berjalan bila dilakukan lewat percontohan, menyasar daerah-daerah dan sekolah yang membutuhkan. Selama program ini masih bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, program ini tak kan berhasil.

Masygul rasanya bila menengok sosial media. Betapa banyak kasus-kasus dugaan keracunan MBG. Yang lebih menyedihkan, banyak pula video-video dari pelajar yang mengabadikan menu yang diperolehnya. Ada cacing, ulat, kecoa, sampai belatung. Mau diletakan dimana wajah Indonesia?

Bahkan, ada pula menu yang berisi: biskuit, susu formula, kacang kulit. Lantas dimana gizinya? Saya khawatir, niat baik Presiden Prabowo tidak dijalankan sepenuhnya oleh pelaksana MBG di lapangan. Program ini sekadar menjadi proyek bancakan ramai-ramai.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Presiden Prabowo tidak menerima informasi secara utuh. Hanya menerima laporan yang disebut ABS: Asal Bapak Senang. Yang berkebalikan dengan fakta lapangan. Banyak yang mulai khawatir, program ini justru akan menjadi alat pembusukan citra presiden.

Ini juga seiring dengan statement pejabat terkait yang merespon kasus keracunan usai melahap menu MBG. Bukan menenangkan rakyat tapi seolah malah meremehkan.

Satu anak keracunan itu sudah terlau besar. Sudah melenceng jauh dari tujuan awal memberi gizi, bukan jutsru membuatnya keracunan.

Salah satu kepala sekolah SD di kawasan Depok, kepada Republika, mengakui adanya surat perjanjian antara pihak sekolah dan SPPG sebelum program berjalan. Sejumlah poin dalam surat perjanjian itu merahasiakan informasi bila ada keracunan dan ganti rugi saat food tray rusak atau hilang.

Selain itu, ada pula curhatan guru yang viral. Yang menyebut beban kerja bertambah dari program MBG. Program ini menyita waktu dan energi para guru, mereka harus mengkordinir di sekolah, membagikan makanan, membujuk siswa yang enggan makan, mengumpulkan kembali dan menghitung ulang food tray.

Belum lagi ada juga guru yang kebagian mengurus food waste, sebab tak semua siswa mau makan MBG. Selain itu, ada guru yang kudu mencicipi terlebih dahulu menu MBG untuk memastikan makanan aman, tidak bau dan tidak berbahaya, sebelum dibagikan ke siswa. Dan para guru tak bisa menolaknya.

Rawan Korupsi

Masalah krusial lain, dengan anggaran yang sangat besar: MBG berpotensi menjadi ladang baru korupsi. Transparency International Indonesia (TII) menemukan potensi kerugian pelaksanaan MBG. Angkanya mencapai Rp1,8 miliar tiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG- dapur MBG.

Peneliti TII Agus Sarwono, mengingatkan ada potensial lost per satuan SPPG per tahun Rp 1,8 miliar. Ia mempertanyakan biaya Rp 15 ribu MBG sampai ke mulut penerima manfaat mentoknya hanya kisaran Rp 9.500. Risiko korupsi yang gagal dicegah bisa merugikan negara Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.

Program ini juga dinilai akan memperlebar defisit anggaran hingga mencapai 3,6 persen terhadap PDB. Artinya, melampaui batas maksimal defisit 3 persen PDB sebagaimana diatur UU Keuangan Negara.

Berdasar data Kemenkeu alokasi dana dan realisasi MBG, sampai awal September Rp 13 triliun, atau baru sekitar 18 persen dari pagu APBN sebesar Rp 71 triliun. Sampai 8 September, MBG melayani 22,7 juta penerima dan dilayani 7.644 SPPG. Serapan anggaran yang rendah juga menjadi soalan tersendiri.

Dalam postur UU APBN 2026 yang baru disahkan, tercatat 10 kementerian/lembaga memperoleh pagu anggaran terbesar. Adapun peringkat pertamanya ditempati Badan Gizi Nasional dengan pagu anggaran sebesar Rp 268 triliun. Yang juga digunakan untuk program MBG. Anggaran besar ini rawan sekali korupsi.

Total anggaran BGN meningkat Rp50,1 triliun dibanding pagu indikatif sebelumnya sebesar Rp 217,8 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk Program MBG yang ditujukan kepada penerima manfaat anak sekolah sebesar Rp34,49 triliun.

Lalu alokasi anggaran Program MBG tahun 2026 untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita sebesar Rp3,18 triliun. Selain itu anggaran tambahan juga dialokasikan untuk digitalisasi MBG senilai Rp3,1 triliun, serta promosi, edukasi, kerja sama, dan pemberdayaan masyarakat sebesar Rp280 miliar.

Secara klasifikasi, sebesar 95,4 persen anggaran atau sekitar Rp255,5 triliun difokuskan untuk program pemenuhan gizi nasional, lalu sekitar 4,6 persen atau Rp12,4 triliun untuk program dukungan manajemen.

Ubah Skema

Dana ratusan triliun selaiknya bisa dialihkan hal yang lebih krusial: pemerataan pembangunan sekolah dan kesejahteraan para guru. Adapun skema program MBG bisa dilakukan dengan bertahap, memprioritaskan daerah atau sekolah tertentu. Tidak langsung serentak secara nasional. Perlu pilot project di wilayah 3T.

Anggaran MBG bukanlah dana pesta pora untuk membuka celah potensi bancakan ramai-ramai. Itu semua uang hasil pajak rakyat. Selaiknya digunakan sesuai keinginan publik, bukan mempertahankan egoisme sentris dari program yang telah nyata menuai banyak kritik dan masalah.

SPPG yang juga dimiliki politisi juga syarat kepentingan politik dan bisnis. Skema itu perlu diubah untuk memindahkan dapur ke sekolah, sebagaimana program MBG sejenis di luar negeri. Pemerintah banyak opsi untuk menjalankan model atau skema MBG, di luar dari yang telah berjalan saat ini.

Pemerintah bisa memberdayakan kantin sekolah yang sudah pengalaman puluhan tahun memasak untuk anak-anak di sekolah. Hal ini jelas bermanfaat secara pengalaman dan dampak ekonomi. Justru dengan lahirnya dapur SPPG saat ini mematikan kantin sekolah.

Apalagi central kitchen itu skema yang paling rumit. Kombinasi produk massal, cold chain, last mile delivery dan kontrol mutu harian membuka banyaknya celah kegagalan. Seperti kasus keracunan yang terjadi. Apalagi pengelola SPPG tidak punya pengalaman menghandle ribuan pesanan harian.

Kita bandingkan dengan layanan catering untuk sebuah perkantoran. Mereka pasti memilih katering yang pengalaman, tapi kenapa pemerintah kekeh menerapkan SPPG dengan skema central kitchen? Apalagi banyak dari mereka baru beroperasi, yang artinya tidak punya pengalaman handle ribuan pesanan harian.

Sedangkan kantin per sekolah sudah berpengalaman. Mereka punya teknik teruji bagaimana menghandle makanan untuk siswa, jaraknya 0 km, tanpa last mile, makanan jadi lebih fresh. Jika pun ada masalah, pemerintah lebih mudah memantaunya. Dan kantin di sekolah lain tetap bisa berjalan.

Anggaran bisa lebih dihemat, celah potensi korupsi lebih sempit. Dan yang jelas, kehidupan ekonomi di sekitar sekolah lebih berdampak, perputaran ekonomi lebih terasa.

Tidak dimonopoli SPPG yang bisa melayani belasan sampai puluhan sekolah, dengan total ribuan siswa. Apalagi dimiliki politisi.

Dengan banyaknya kasus korupsi saat ini, sungguh, kita belum siap menjalankan MBG serentak se-Indonesia. Kita baru bisa melakukannya bertahap, diawali dari daerah dan sekolah tertentu, dari lingkup yang kecil.

Bukan langsung secara nasional. Kasus satu siswa keracunan itu sudah lebih dari cukup untuk melakukan evaluasi total dan perubahan skema.

Dengan skema SPPG saat ini, risiko inefeisiensi juga sangat besar. Anggaran jumbo, tapi pelaksanaan bermasalah: risiko pemborosan, risiko kerugian negara dengan aneka potongan, keracunan, food tray terkontaminasi, belum ada sertifikasi higienis, tak ada pengalaman handel ribuan pesanan, dan lainnya.

Ini menghasilkan biaya tinggi, manfaat rendah. Tak sebanding dengan besarnya anggaran. Bukan empat sehat, lima sempurna yang didapat, tapi menu yang bau hingga berujung dirawat.

Dengan maraknya kasus keracunan massal, isu halal, manfaat gizi tak tercapai, dan masalah lain malah berpotensi melemahkan legitimasi pemerintah.

Jangan sampai, niat baik Presiden Prabowo justru membuka celah sebagai alat untuk memperburuk citra. Apalagi kalau masih buta tuli dengan keluhan publik, bukan karena sengaja tapi karena potensi informasi yang tidak utuh. Potensi laporan Asal Bapak Senang.

Ada baiknya seruan yang baru mengemuka dari warganet perlu digaungkan terus: Presiden perlu membuka sosial media secara rutin.

Shalaallahu alaa Muhammad

Rudi Agung

× Image