Home > News

Kebebasan Pers dalam Keprihatinan, Pola Baru Outsourcing Pembungkaman

Pers Indonesia tengah dibelenggu kepentingan politik dan bisnis dalam cengkram oligarki.
Aksi gabungan beberapa organisasi pers.
Aksi gabungan beberapa organisasi pers.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – “Kebebasan Pers sedang dalam keprihatinan,” kata mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, dalam podcast Dewan Pers.

Pernyataan pria yang juga pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi itu menampar kenyataan sehari-hari dunia media di Indonesia.

80 Tahun Indonesia merdeka, daya “pukul” pers justru melemah. Kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi keempat, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, terkekang. Pers seolah keluar dari fungsinya sebagai agen perubahan.

Dua dekade lebih pasca-Reformasi, Indonesia tak lagi mengenal pembredelan media seperti Pers dalam Belenggu di era Orde Baru. Tak ada lagi pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang bisa membunuh media dalam semalam. Secara hukum, pers berdiri gagah sebagai “pilar keempat demokrasi.”

Namun di ruang redaksi, di balik layar komputer wartawan, realitas itu terasa getir: ruang gerak semakin sempit, iklan yang kian bias, ancaman yang berpindah wujud, dan di atas semuanya, bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang menghantui industri media.

Bahasa kerennya, meskipun secara de jure (menurut hukum) pemerintah memberikan kebebasan, secara de facto (dalam kenyataan) para penguasa masih canggung dengan kemerdekaan pers. Jika dulu ancaman datang dari Departemen Penerangan atau Puspen ABRI, kini kontrol berjalan lebih halus: lewat telepon menteri, pesan singkat direktur BUMN, atau tekanan tak terlihat pada para pemasang iklan.

Tokoh pers senior, Bambang Arimurti, mencontohkan kasus Bocor Alus milik Tempo. Meski audiens tinggi, iklan tiba-tiba dicabut setelah ada “telepon dari atas”.

Praktik semacam ini menggambarkan pola baru: outsourcing pembungkaman.

Negara tak perlu membredel media; cukup memanggil oligarki, menakut-nakuti pengiklan, atau mengatur aliran dana.

“Dia panggil teman-teman oligarkinya, suruh bayar buzzer, ya, kan? Suruh bayar orang, ya, buzzer lah umumnya, orang-orang untuk membungkam media-media yang dianggap tidak menyenangkan dan juga menakut-nakuti, ‘Jangan pasang iklan di media itu.’,”ujar Bambang dalam kesempatan yang sama.

“Sekarang sih saya tidak melihat pers itu dibungkam. Tetapi pers itu dipaksa untuk bungkam sendiri, kan gitu. Nadinya itu yang dipegang agar dia tidak bisa bernapas,”

Mahfud menimpali. Kebebasan yang dijamin undang-undang akhirnya menjadi kebebasan semu. Media tidak lagi menghadapi larangan resmi, tetapi dipaksa menutup mulut melalui mekanisme ekonomi.

Ketergantungan Iklan Pemerintah

Mahfud juga mengamati pers saat ini terlalu bergantung pada dukungan finansial dari pemerintah. Dukungan dari pihak swasta sering kali dibuat takut untuk masuk, terutama bila media tersebut kritis terhadap kekuasaan.

Alhasil, banyak media hanya bisa berharap pada iklan kementerian, lembaga negara, atau BUMN. “Pemerintah itu memonopoli dukungan, karena dukungan-dukungan finansial dari swasta itu dibuat takut untuk ikut memberikan dukungan finansial kepada pers, misalnya periklanan dan sebagainya.

Sehingga akhirnya yang harus dimintai pertolongan untuk iklan dan lain-lain itu ya pemerintah pada akhirnya,” ujar dia.

Kondisi ini mendorong kaburnya garis antara berita dan iklan pariwara. Tidak jarang, advertorial dibungkus sebagai berita reguler. Bagi pembaca awam, batas itu semakin tak jelas. Kredibilitas pun tergerus.

Krisis Bisnis

Tekanan politik hanyalah satu sisi. Di sisi lain, media di Indonesia menghadapi krisis bisnis yang serius. Perubahan perilaku konsumsi informasi membuat media konvensional kehilangan basis ekonomi.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri media dalam beberapa tahun terakhir pun tak terhindarkan. Dari media cetak hingga portal, banyak jurnalis kehilangan pekerjaan akibat menurunnya iklan dan pergeseran konsumsi berita ke platform digital lainnya.

Menurut data Dewan Pers, sepanjang 2023 dan 2024, tak kurang dari 1.200 karyawan perusahaan pers (termasuk jurnalis) diPHK. Pada 2025, gelombang PHK pada pekerja media masif terjadi, baik di perusahaan media nasional maupun media lokal.

Angka ini hanya puncak gunung es, karena banyak perusahaan media tidak melaporkan PHK secara resmi ke Dewan Pers. Penyebabnya berlapis. Mulai dari menurunnya iklan akibat migrasi pembaca ke platform digital lain, hingga efisiensi anggaran pemerintah. Redaksi yang menyusut berakibat pada kualitas liputan.

Investigasi jarang dilakukan, liputan mendalam makin langka, sementara jurnalis dipaksa menulis cepat untuk mengejar kuota berita harian. Di banyak newsroom, satu reporter harus menangani tiga hingga lima isu berbeda dalam sehari.

Akibatnya, publikasi lebih menyerupai pabrik konten ketimbang ruang jurnalistik. Masyarakat pun kian skeptis.

Tanggung Jawab Pemerintah

Bagi Mahfud, situasi ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. “Pemerintah bertanggung jawab lah untuk membangun kembali pers,” kata dia.

Dia pun mengingatkan, kemerdekaan Indonesia mustahil terjadi tanpa pers. “Informasinya, sebenarnya kemerdekaan tuh sudah diucapkan 16 Agustus, iya kan? Sudah diucapkan ketika diculik.

Tapi kemudian oleh Bung Karno umumkan, ‘Yang tadi itu batal yang saya ucapkan di Rengasdengklok.’ Kenapa? Enggak ada yang nyiarkan. ‘Kita tunggu wartawan dulu agar dunia tahu bahwa kita merdeka.’ Juga foto diulang merdeka 17 Agustus.

Itu sebuah tulisan dari orang yang ikut di Rengasdengklok, yang pernah saya baca. Betapa hebatnya pers,” lanjut Mahfud. Oleh karena itu, tugas negara bukan sekadar tidak mengintervensi, melainkan memastikan ekosistem pers sehat.

Berani Lawan?

“Apakah pers berani melawan?” merupakan pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya. Bambang Arimurti mengingatkan, secara hukum, pers punya landasan kuat untuk melawan para pihak yang “membungkam” kemerdekaannya.

Pasal 18 Undang-Undang Pers menyebut, siapa pun yang merintangi kemerdekaan pers bisa dipidana hingga dua tahun penjara. “Undang-undang Pers itu Pasal 18, jika ada orang yang merintangi kemerdekaan pers bisa dipenjara sampai 2 tahun. Sampai 2 tahun,” kata Bambang.

“Jadi kalau kita bisa buktikan ada perintah gitu, bisa kita tes, bawa ke (polisi), laporkan, dan diproses, loh. Betul enggak Menteri A telepon, apa dirut BUMN B kirim WA agar jangan pasang iklan di sini? Itu kan bisa kita kondisikan sebagai upaya menghambat kemerdekaan pers,” sambung dia. Menurut dia, hal itu pernah dilakukan Dewan Pers.

Saat Bambang masih menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pers, ada laporan dari sebuah televisi. Reporter sudah menyiapkan bahan dan dokumen untuk siap siar.

“Tiba-tiba ada telepon dari pemilik medianya, mengatakan dia dapat telepon dari seorang menteri supaya itu dibatalkan. Terus kita proses. Tapi kebetulan waktu itu ownernya juga teman baik. Akhirnya saya telepon saja. Saya bilang, ‘Mas, kita kan teman. Tapi saya kebetulan karena tugas ini, saya kalau Mas tidak membiarkan ini disiarkan, nanti saya terpaksa lapor ke polisi, bisa masuk penjara 2 tahun.’,” ungkap Bambang.

Rupanya, si media tersebut tidak paham, apa yang dia lakukan atas permintaan menteri ini adalah sebuah pidana. Kasus itu berakhir dengan tayangan tetap mengudara. Namun contoh ini menunjukkan, sering kali pers tidak menyadari kekuatan hukum yang dimilikinya.

Menatap Masa Depan

Masa depan pers Indonesia berada di persimpangan jalan. Dari sisi sejarah, pers pernah menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kolonialisme, saksi proklamasi, hingga motor Reformasi. Kini, pers justru rentan dibungkam melalui tekanan ekonomi, ancaman hukum, dan krisis bisnis.

Tugas besar menanti: membangun model bisnis baru yang tidak hanya bergantung pada iklan, memperkuat solidaritas antar jurnalis, serta menuntut negara konsisten menegakkan regulasi yang melindungi kebebasan pers.

Komarudin Hidayat mengatakan, “Mosok untuk menyampaikan hal yang objektif apa adanya saja takut? Kalau keadaannya seperti itu, bagaimana kita mengoreksi penyimpangan?

Pertanyaan itu sederhana, tetapi tajam. Demokrasi tanpa pers yang bebas hanya akan melahirkan ruang publik yang bising oleh propaganda, bukan informasi. Pers, imbuh Mahfud, adalah cermin bangsa. Jika cermin itu retak atau sengaja ditutup, bangsa kehilangan kemampuan bercermin.

Dia kemudian menutup refleksinya dengan ajakan, “Harus kembali ke ke fungsi dan tugas-tugas utamanya untuk negara yaitu menjaga kemerdekaan, kemerdekaan negara, kemerdekaan pers juga sebagai bagiannya agar negara ini mencapai tujuannya. Kalau enggak ya bubar saja. Nanti suatu saat tinggal nunggu waktu.”

Akhirnya, demokrasi yang sehat hanya mungkin jika pers bebas, jurnalis terlindungi, dan publik kritis. Sebab, seperti yang diingatkan Bambang: “Yang anti kebebasan itu anti Pancasila.”

Tulisan ini tayang di Buletin Dewan Pers: Etika, Laporan Utama edisi Agustus 2025 I Rita Ayuningtyas

Image
Republika Network

Sekitarkaltim.ID -

× Image