Mandau Terbang: Senjata Mematikan Bergerak Tanpa Rasa Kasihan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Membicarakan mandau, senjata tradisonal suku Dayak, seakan tak ada habisnya. Setiap kisahnya begitu ciamik.
Sumber kisahnya pun beragam, mulai kisah bertutur, legenda, mitos, sampai kisah-kisah yang tertuang dalam sejarah maupun diabadikan dalam literatur yang berangkat dari kajian akademik.
Mandau dikenal sebagai pusaka yang turun-temurun digunakan suku Dayak. Seringkali dianggap sebagai benda keramat. Bentuknya unik, bermacam-macam dan bilahnya sangat tajam.
Selain digunakan saat perang, mandau biasanya dipakai suku Dayak menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian. Terutama dalam acara-acara adat.
Era pra kemerdekaan Indonesia, mandau pernah digunakan menghadapi penjajah Belanda dan Jepang yang mengusik tanah Borneo.
Menurut mitos, mandau dapat memakan korban jika keluar dari sarungnya. Konon, mandau terbang dapat mencari sasarannya tanpa meleset. Mandau diyakini akan mencari sasarannya tanpa belas kasihan.
Mandau terbang memiliki kesaktian dashyat, menurut penuturan tokoh adat Dayak Bahau, Simon Devung, dilaporkan Detik. Ia berkisah, ilmu mandau terbang digunakan para leluhur saat berperang.
Ilmu ini diwariskan turun temurun. Bahkan, setiap kelompok anak dari suku Dayak pasti ada yang bisa, tapi tidak semua orang. Katanya, hanya orang tertentu yang punya kemampuan seperti itu.
Mandau terbang bukan senjata mandau yang bisa terbang sendiri. Melainkan si pengguna mandau punya ilmu yang tidak bisa dilihat lawan.
Secara fisik dan kasat mata, mandau terbang itu memang ada, tapi orang yang memegang mandau tidak terlihat musuh. Ada dua jenis ilmu mandau terbang. Keduanya punya tingkat kekuatan berbeda.
Pertama, seseorang yang punya ilmu mandau terbang. Bersandar pada kekuatan manusia, artinya orang yang menggunakan mandaunya bisa menghilang, mandaunya yang terlihat terbang. Namun, sebenarnya orang itu memegang mandau tapi orangnya tidak terlihat, orang-orang hanya melihat mandaunya saja.
Ilmu kedua tingkatnya lebih tinggi lagi. Yakni, mandau digunakan bangsa jin atau mahluk ghaib tak kasat mata. Jin itu sahabat dari pemilik mandau. Jin itulah yang diminta membawa mandau untuk menghantam lawan. Kadang kala disebut jin pembantu.
Untuk mendapat ilmu mandau terbang lewat bantuan jin, harus dilakukan ritual. Ada pula yang diturunkan dari leluhur. Meski begitu, mandau terbang tak digunakan dengan bebas.
Mandau terbang hanya bisa digunakan suku Dayak saat kepepet. Tidak bisa digunakan untuk pamer, tidak bisa untuk membunuh sembarangan. Hanya ditujukan kepada musuh. Sebab jika sudah digunakan, tak ada yang mampu melawan serangan mandau terbang, yang sangat mematikan. Tak ada lawan.
Karya Cipta Peradaban Tinggi
Basuki Teguh Yuwono, dalam Memetika: Jurnal Kajian Budaya Volume 4 (2022), menjelaskan mandau telah menjadi karya cipta budaya masyarakat suku Dayak.
Karya ini mampu menunjukkan tingkat peradaban tertinggi dalam bidang seni tempa logam.
Yang mencerminkan kristalisasi dari karakter dan nilai-nilai yang turut membentuk identitas masyarakat Dayak di sepanjang pulau Kalimantan.
Mandau bukan semata-mata karya logam yang hanya memenuhi aspek keindahan, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai simbolis yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat Dayak.
Seperti: filosofi, spiritual-riligius, sosial, mitis-magis, dan lain sebagainya.
Masyarakat Dayak bahkan menempatkan Mandau semacam bahasa visual bagi norma, etika, adat-istiadat dan identitas segala aspek kehidupan mereka.
Mandau bagi masyarakat Dayak menjadi simbol persaudaraan, watak ksatria, penjaga, tanggung jawab, kedewasaan, strata sosial, identitas adat, dan banyak fungsi lain. Dilihat dari aspek spiritual, kehadiran Mandau senantiasa dianggap penting dan harus ada dalam setiap upacara adat.
Misalnya, Melas/ kelahiran, Plulukng Pruku/ perkawinan, Balian/ pengobatan, Kwankai/ kematian, Besara/ keadilan dan Antang/ denda adat.
Keberadaan Mandau yang demikian sentral dalam kehidupan masyarakat Dayak, memposisikan Mandau sebagai bagian kelengkapan hidup yang penting dan harus selalu ada di sisi mereka.
Mandau demikian lekat dalam alam pikir dan perilaku masyarakat Dayak dari waktu ke waktu dalam perjalanan sejarahnya yang panjang.
Sayangnya, hasil karya budaya khas etnik Dayak ini mulai memudar dan terjadi pembiasan pemahaman dalam pandangan generasi muda. Mandau sering kali hanya dipandang sebagai alat atau semacam senjata tajam.
Kekeliruan pemahaman ini jelas merupakan pendangkalan dari nilai-nilai yang demikian mendalam pada mandau yang seringkali tidak lagi dipahami. Sementara pengkajian mendalam terhadap Mandau belum banyak dilakukan.
Tiap Bagian Punya Fungsi Khusus
Sebuah Mandau dapat ditengarai dari ciri dan karakteristik bentuk serta tiap-tiap bagian-bagiannya. Tiap-tiap bagian memiliki fungsi khusus, dibuat indah dan memiliki makna simbolis yang demikian mendalam. Adapun ciri Mandau dapat ditengarai dari 3 bagian pokok yaitu: Isin/Loneng, Pulang/hulu, dan Sarukng.
Isin/loneng dibuat dari logam campuran (besiq purunt) dan diolah dengan teknologi seni tempa oleh seorang Penetak (pandai besi). Adapun Loneng istilah bilah Mandau yang berasal dari bahasa Dayak Tunjung.
Bahan mandau dibuat dari biji besi (besi Mantikei, besi Mujat, besi Tengger, besi Montalat. Panjang isin/loneng yang ideal ± 50 cm, lebar pangkal ±2 cm dan lebar ujungnya ± 5 cm dan beratnya ± 335 gram.
Isin/loneng terdiri dari dua sisi utama, yaitu sisi punggung yang tumpul dan sisi bawahnya yang sangat tajam. Isin/loneng semakin ke ujung semakin melebar dan pada pangkalnya terpasang pulang (hulu berukir indah).
Permukaan isin/loneng dihias mataq yaitu lubang-lubang yang diisi dengan berbagai jenis logam seperti: kuningan, tembaga, emas, perak.
Jumlah mataq yang telah lepas menunjukkan jumlah ongoh (korban) ketika Mandau digunakan untuk mengayau. Permukaan bilah sisi kanan berbentuk cembung (teban) dan permukaan sisi belakangnya berbentuk cekung.
Dua sisi berlawanan inilah yang membuat mandau sangat tajam. Mandau selalu dilengkapi dengan Langgei Puai atau isaa/isaau (anak Mandau).
Pulang pada umumnya dibuat dari tanduk rusa atau tanduk kerbau, namun dijumpai pula yang dibuat dari jenis kayu pilihan. Ciri sebuah Pulang memiliki bentuk menyerupai bentuk pengait, bentuk paruh burung, atau bentuk kepala naga.
Pangkal Pulang dihias dengan ukiran motif Dayak yang khas sesuai dengan suku pemiliknya. Bagian tengah pulang dihias anyaman rotan (ulaat/sulaat). Adapun ujung Pulang atau hulu Mandau yang menyatu dengan pangkal Mandau dihias cincin yang disebut Kamang atau Sopak (Ketipe atau Ului).
Panjang Pulang sekitar 20 cm, berat sekitar 300 gr, pangkal Pulang yang menyerupai pengait panjangnya antara 5-7 cm. Pulang juga dihias dengan rambut manusia yang disebut Takan.
Sebuah mandau selalu dilengkapi dengan Sarukng/Kumpang untuk melindungi bilahnya dan untuk mempermudah bilah dibawa. Kumpang dibuat dari bahan kayu, dihias dengan kombinasi tanduk rusa dan lazimnya dihias dengan ukiran.
Kumpang diberi hiasan anyaman rotan/uei (nyipei) yang disebut Tempuser Undang atau Pusat Belanak. Selain itu, pada Kumpang terikat pula semacam kantong (Tempeseng/Tabin) yang terbuat dari kulit kayu atau pelepah pinang sebagai Sarukng anak Mandau/Isaau.
Mandau biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan (krayan atau blawit) dan ujungnya dihias dengan Tempalang/Kepalekng/Ketipei. Bagian ujung dari Sarukng disebut Ikui (ekor) dan dihias dengan anyaman rotan atau motif ukiran tertentu.
Punya Kekuatan Ghaib
Mandau sebagai alat kebutuhan sehari-hari suku Dayak yang hidup di lingkungan hutan (mata pencaharian dari berburu dan berladang, membuka hutan atau semi berpindah tempat) dan sungai-sungai yang memerlukan senjata cukup panjang, tajam dan kuat.
Keadaan itu dijelaskan Tjilik Riwut, 1958:215, bahwa disekitar hulu sungai Barito dan sungai Mahakam ada orang dayak yang hidupnya masih belum menetap artinya artinya belum memiliki desa, karena mata pencaharian hidupnya masih belum bertani melainkan berburu.
Mereka adalah orang-orang Ot olong-olong dan Panyawung. Bersama-sama dengan orang Punan, Ot Siauw, Ot Mondai, Ot Paridan, Ot Saribas.
Hal ini pula yang meyakinkan bahwa senjata mandau dan sumpitan (sipet) merupakan senjata andalan dalam kehidupannya.
Sedangkan mandau ditinjau sebagai senjata tradisional yang memiliki kekuatan ghaib dimana masyarakat suku Dayak memiliki kebiasaan upacara-upacara persembahan pada leluhur dan nenek moyangnya.
Hery Santosa dan Tapip Bahtiar dalam jurnal bertajuk, Mandau Senjata Tradisional sebagai Pelestari Rupa Lingkungan Dayak, menjelaskan hampir seluruh orang-orang dayak di Kalimantan terutama yang tinggal di pedalaman memiliki kesamaan corak kebudayaan.
Salah satunya alat perang berupa senjata tradisional parang atau mandau. Mandau adalah salah satu senjata tradisional Kalimantan, seperti halnya di Madura dikenal dengan senjata genggam celurit, di Jawa Barat kujang, golok dan di Jawa keris. Demikian Herry, dalam RITME Volume 2 No. 2 Agustus 2016.
Sebagaimana senjata tradisional daerah-daerah lainnya mandau ada yang dibuat sebagai alat kebutuhan sehari hari dan ada pula yang dibuat khusus untuk kegiatan yang bersifat ritual atau alat upacara tradisi atau tari-tarian.
Pada perkembangan sekarang ini mandau banyak pula dijadikan sebagai hiasan atau souvenir.
Melihat dari kehidupan atau mata pencaharian suku Dayak serta kondisi tempat kediamannya senjata mandau dapat diyakini sebagai alat kebutuhan sehari hari dan senjata yang memiliki kekuatan ghaib atau memiliki nilai-nilai spiritual.
Mila, berbagai sumber